Sunday, January 26, 2014

Howard Schultz : Starbucks Coffe


Sejarah Starbucks Coffe bukan seperti membalik telapan tangan. Diawali dari kerjasama tiga sa­habat, trio guru bahasa Inggris Jerry Baldwin, guru sejarah Zev Siegel, dan penulis Gordon Bowker pada 1971 di Seattle, Washington, Amerika Serikat. 

Awalnya, Howard Schultz adalah seorang general manager di sebuah per­usaha­an bernama Hammarplast. Tahun 1981, Howard Schultz menyadari plastik digunakan oleh Starbucks berasal da­ri perusahaannya, Hammarplast. Howard Schultz akhirnya bergabung ke Starbucks. 

Suatu kali, ia datang ke Starbucks yang pada awalnya hanyalah toko kecil pengecer biji-biji kopi yang sudah disangrai. Toko ini dimiliki oleh duo Jerry Baldwin dan Gordon Bowker sebagai pendiri awal Starbucks. Duo tersebut memang dikenal sangat giat mempelajari tentang kopi yang berkualitas. 

Howard pun memutuskan berga­bung dengan Starbucks, yang kala itu ba­­ru berusia 10 tahun. Ia pun segera bi­sa dekat dengan Jerry Baldwin. Sa­yang, hal itu kurang berlaku dengan Gordon Bowker dan Steve, seorang investor Starbucks baru.  Meski begitu, Howard tetap berusaha beradaptasi dan mencoba mengenalkan berbagai ide pembaruan untuk membesarkan Starbucks. 

Suatu ketika, Howard Schultz da­tang dengan ide cemerlang. Ia men­de­sak Jerry untuk mengubah Starbucks menjadi bar espresso dengan gaya Italia. Setelah perdebatan dan pertengkaran yang panjang, keduanya menemui jalan buntu. Jerry menolak karena meskipun idenya bagus, Starbucks sedang ter­je­rumus dalam utang sehingga tidak akan mampu membiayai perubahan. 

Howard pun lantas bertekad men­diri­kan perusahaan sendiri. Belajar dari Starbucks, ia tidak mau berutang dan memilih berjuang mencari investor. Dan, pilihan inilah yang kemudian mem­buatnya harus bekerja ekstra keras. Ditolak dan direndahkan menjadi bagian ke­seharian yang harus dihadapinya. 

“Secangkir kopi satu setengah dollar? Gila! Siapa yang mau? Ya am­pun, apakah Anda kira ini akan ber­hasil? Orang-orang Amerika tidak akan pernah me­­ngeluarkan satu setengah dolar untuk kopi,” itulah sedikit dari sekian banyak cacian yang diterima Howard, saat mencetuskan ide untuk mengubah konsep penjualan Starbucks. 

Impiannya terwujud, bahkan de­­ngan uang yang terkumpul dari usahanya, ia berhasil membeli Starbucks dari pen­­dirinya. Namun, kerja keras itu tak ber­henti dengan terbelinya Star­bucks.

“Anda harus sangat sabar dalam menghadapi penderitaan! Anda harus bekerja begitu keras dan memiliki an­tusias­­me yang begitu besar terhadap suatu hal sehingga hal-hal lain dalam hidup anda terpaksa dikorbankan.” ujarnya.
 Saat terjadi akuisisi, ia mendapati ba­nyak karyawan yang curiga dan me­­­mandang sinis perubahan yang di­bawanya. 

Tetapi, dengan sistem ke­­ke­­luargaan, ia merangkul karyawan dan bah­kan memberikan opsi saham se­hing­ga sense of belonging karyawan makin tinggi. Dibantu dengan CEO yang diperbantukannya, Orin C Smith, Ho­ward berhasil mengembangkan per­usahaannya ke banyak negara.

Berpikir Positif Pada Hidup
Howard Schultz dikenal pekerja keras dan mengutamakan disiplin. Salah satu yang kebiasaan uniknya adalah tidak tidur malam lebih dari empat jam dan teratur bersepeda (olahraga). Ini di­anggapnya mendukung kesuksesan-ke­suksesan dalam hidupnya.

Lahir pada tahun 1952 di Seattle, Amerika Serikat. Howard Schultz la­hir dalam keluarga yang sederhana, na­­mun mempunyai pandangan yang baik tentang kehidupan. Namun nasib Howard Schultz cukup bagus karena dapat melanjutkan pendidikan hingga universitas. 

Untuk membantu biaya sekolahnya, Howard Schultz melakukan kerja sam­pingan. Pekerjaan Howard Schultz ti­dak menetap dan sering gonta-ganti pe­kerjaan. Hingga akhirnya Howard Schultz bekerja di perusahaan Perstop yang merupakan produsen peralatan dapur, hingga menjadi pimpinan di per­usahaan tersebut. 

Howard Schultz mempunyai hobi melancong ke luar kota dan bahkan ke negara lain sambil mengamati karakter dari orang-orang yang dia singgahi. Pada tahun 1963, Howard Schultz melancong ke kota Milan, Italia. Ketika bersantai di kota itu, tiba-tiba terbersit ide birlian untuk bisnis kopinya. 

Inspirasi ini muncul ketika dia me­nya­dari bahwa di Milan hampir di se­tiap blok ada warung kopi, yang tidak ha­nya rasanya yang nikmat namun juga pelayanannya sangat ramah dan memuaskan pelanggan. Inilah ke­­mudian yang dikembangkannya ke­mudian hari di Starbucks hingga puluhan ribu cabang di seluruh dunia. Ia juga menekankan layanan dengan ke­ramahan pada konsumen, dan di sisi lain, memperlakukan karyawan sebagai keluarga. Dengan cara itu, Howard te­rus berekspansi hingga terus menjadi ke­dai kopi terbesar.

“Saya ingin bertanggung jawab atas takdir saya sendiri. Mungkin itu ke­­lemahan saya, yang selalu bertanya-ta­nya apa yang akan saya lakukan berikutnya. Tak pernah ada kata cukup,” ujarnya. Howard juga menyarankan siapa­­pun untuk tidak berhenti bermimpi. “Ambil risiko lebih banyak. Bermimpilah lebih sering. Gantung harapan lebih tinggi. Bersikaplah lebih bijaksana.” pe­sannya. 

Sejarah Panjang Jualan Kopi
Setelah bertahun-tahun, kini Star­bucks Corporation bisa dikatakan se­bagai perusahaan kedai kopi terbesar di dunia di 44 negara. Starbucks men­jual kopi, minuman panas berbasis es­presso, minuman dingin dan panas lainnya, makanan ringan, serta cangkir dan biji kopi. Melalui divisi Starbucks Entertainment dengan merek Hear Music, perusahaan ini juga memasarkan buku, musik, dan film.

Sejak pertama kali dibuka di Seattle, Starbucks tumbuh dengan sangat cepat. Pada tahun 1990-an, Starbucks banyak mem­buka kedai baru. Pertumbuhan ini terus berlanjut sampai tahun 2000-an. Pada akhir Maret 2008, Starbucks telah memiliki 16.226 kedai, 11.434 di antara berada di Amerika Serikat.

Na­mun pada 1 Juli 2008, Starbucks meng­umumkan bahwa mereka akan menutup 600 kedai dan memotong rencana pertumbuhannya di Amerika Serikat, dikarenakan melemahnya kon­disi ekonomi.

Pada tahun 1992, Starbucks se­be­narnya sudah menjadi perusahaan pu­blik yang diperdagangkan, dan memiliki 165 outlet. Pada tahun 1996, dibuka toko pertama non-Amerika Utara di Tokyo. Pada tahun 1998, diperpanjang dalam batas-batas dari Britania Raya, membeli 60 toko kopi Seattle Perusahaan dan rebranding me­reka sebagai Starbucks. Selain itu, mengambil alih Seattle’s Best Coffee, Torrefazione Italia dan Diedrich Coffee.

Akhir Juli 2008, Starbucks juga mem­­­ber­hentikan 1.000 lebih pe­ga­wainya. Star­bucks menutup lebih dari 75 per­­sen gerainya di Australia. Starbucks sen­diri sebelumnya memiliki sekitar 84 gerai di Australia. Penutupan tersebut mengakibatkan pemutusan hubungan kerja terhadap hampir 700 tenaga kerja. 

Selain di Australia, Starbucks ju­ga menutup sekitar 600 gerainya di AS. Penutupan dan pemberhentian kerja ini merupakan akhir dari pertumbuhan pesat Starbucks yang dimulai pada tahun 1990-an. 

Starbucks kini dapat ditemukan dibanyak negara. Tiga puluh tahun se­telah berdiri Starbucks membuka outlet pertamanya di Indonesia di Plaza Indonesia, Jakarta. Di Indonesia, hak waralaba Starbucks dimiliki oleh Mitra Adi Perkasa

Kini, Starbucks Coffee seakan menjadi brand kedai kopi yang paling meroket reputasinya. Tak kurang dari puluhan ribu cabang di seluruh dunia, Starbucks siap memanjakan para penikmat kopi espresso dengan prinsip yang selalu ditanamkan oleh Howard kepada tiap karyawanannya, yaitu utamakan keramahan pada konsumen.

Kesulitan Justru Membuat Kita Berusaha Keras Untuk Sukses.
Howard memulai dengan menceritakan masa kecilnya yang susah di Brooklyn,New York. Keluarganya yang tak mampu secara finansial, seperti yang ia ceritakan,membuat  hidupnya tertempa dengan keras. 

Namun usaha dan kerja keras membuat ia mendapatkan beasiswa ke bangku Universitas. Inilah yang ia jadikan modal untuk mendapatkan pekerjaan yang baik hingga akhirnya ia berhasil menjadi manager di sebuah perusahaan bernama Hammarplast. Dari sana Howard  kemudian mengenal Starbucks, kedai kopi yang membeli beberapa mesin kopi dari Hammarplast.

Ia merasa sangat terkesan akan keahlian dan kesabaran pemilik Starbucks dalam memilih dan menyangrai biji kopi. Ia lalu pindah ke Starbucks dan berhasil menjadi Marketing Director. Singkat cerita, setelah sempat keluar dari Starbucks untuk mendirikan kedai kopinya sendiri, akhirnya pada tahun 1997, Howard berhasil membeli Starbucks dan membesarkannya. Menurutnya, ia membangun brand Starbucks ini dengan initial concept yang balance antara profitability dengan humanity. Bisnisnya tumbuh dengan sangat cepat dan kedai kopinya merambah ke berbagai kota . Ia pun mulai mengembangkan bisnis-bisnisnya yang lain di luar Starbucks.

Sukses sering membuat kita lupa.

Namun krisis ekonomi di tahun 2008, membuat Satrbucks terpuruk. Maka iapun kembali ke Starbucks untuk menangani lagi kedai kopi ini.  Ia melakukan checking dan explorasi untuk mengetahui penyebab dari kegagalannya.  Ternyata ia menemukan jauh lebih banyak lagi masalah di luar yang ia perkirakan di awal. 

Menurutnya, kehancuran sebuah perusahaan yang tadinya sukses itu seringkali terjadi ketika management perusahaan mulai tidak lagi mem’value the initial succes of the company’. Mereka mengukur dan mereward hal-hal yang menurutnya salah  untuk terlalu difocuskan dan dikejar dengan meremehkan hal-hal lain yang justru sangat penting untuk daya tahan sebuah brand besar, yakni “Love & Humanity”. Misalnya terlalu focus mengejar profitability dengan mengurangi hak-hak karyawan, mereward service “speed’ tapi melupakan hal-hal basic tentang brand dan service itu sendiri. Saya nyengir ketika ia berkata “…we are a coffee company. How can we forget to make a coffee?”.

Kembali ke basic: Love & Humanity balanced.

Pertanyaannya sekarang adalah: How can we restore the trust & confidence amongst employees and customers? Maka ia pun mengambil initiative untuk memanggil seluruh manager toko-toko starbucks untuk ditraining ulang. Padahal menurutnya saat itu krisis sedang melanda. Membawa 10 000 orang managers ke dalam sebuah training tentu bukan hal yang murah. Tapi tetap ia lakukan, karena ia berpikir bahwa training ini sangat penting untuk memulihkan kesuksesan Starbucks kembali, walaupun harus menelan biaya yang sangat-sangat mahal. Di meeting ia, selain ia menggali lebih jauh tentang permasalahan yang terjadi, juga memberi kesadaran kembali kepada para manager ini untuk melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan.

What is it mean to be accountable manager? Lebih memfokuskan diri pada sisi humanity dan sosial, memperhatikan customers dengan lebih baik, memastikan customers  mendapatkan hal yang melebihi ekspektasinya. Menurutnya ini hal yang sangat penting. “Kami tidak boleh membiarkan konsumen kami kecewa setelah mereka berjalan kaki mengeluarkan effort untuk mengunjungi toko kami” jelasnya. Jadi ia selalu mengencourage teamnya untuk selalu mencari peluang untuk memacu pertumbuhan,  namun tetap menjaga sisi humanitynya. “…drive growth, but only on the land of humanity”- istilahnya.

What is it mean to build a standard? Standard yang ia maksudkan disini hanyalah standard yang tinggi – bukan ‘mediocre’ standard.  Ia mentrain karywannya untuk memberikan standard yang tinggi kepada konsumen. Untuk itu ia pun memberikan standard yang tinggi juga untuk karyawannya. Jadi prinsipnya adalah “ exceeding expectation to people” yang ujung-ujungnya akan menghasilkan “ Exceeding expectation to customers”. Sedemikian rupa ia mentrain teamnya agar bangga dan ‘connected’ dengan brand-nya. Ia pun memperhatikan benefits yang baik untuk karyawannya.

Sukses menurutnya harus dilakukan di setiap tindakan. Succes is not what we are doing, but why we are doing it? Dan menurutnya lagi, setiap kesuksesan itu perlu di’share’ kepada orang lain. Dengan semua aktifitas yang ia lakukan, bisnis Starbucks akhirnya pulih kembali dan bahkan semakin berkembang dengan cepat. Banyak outlets baru di buka dan bahkan hingga ke negara-negara lain di seluruh dunia. Starbuckspun diingat orang sebagai perusahaan yang care terhadap karyawannya.

Sumber :
http://darinholic.com
http://nimadesriandani.wordpress.com
http://www.listrikindonesia.com

No comments :

Post a Comment