Monday, December 2, 2013

Tony Fernandes: Bos Air Asia



Dato' Anthony Francis Fernandes ialah pendiri "Tune Air Sdn Bhd", dan pengusaha yang memperkenalkan penerbangan bertarif murah kepada penduduk Malaysia dengan slogannya, ‘Everyone can fly’

Fernandes menjadi terkenal sewaktu ia memulihkan AirAsia dari sebuah maskapai penerbangan yang sakit ke sebuah perusahaan umum yang sukses. Fernandes juga dikenal untuk peranannya dalam pencapaian persetujuan langit terbuka dengan negara Thailand, Indonesia, dan Singapura, saat ia meminta bekas Perdana Menteri Malaysia, Tun dr. Mahathir Mohamad berbuat demikian pada pertengahan tahun 2003. Atas permintaan tersebut, negara-negara itu telah setuju memberi hak pendaratan kepada AirAsia dan maskapai penerbangan tarif rendah yang lain.

Tony Fernandes dilahirkan pada 30 April 1964 kepada suatu keluarga campuran Portugis  Goa(India) dan Portugis Melaka. Bapa beliau bernama  Dr. Stephen Edward Fernandes dan Ibu beliau, Ena Dorothy Fernandez.

Semasa kecil beliau kerap kali mengikuti ibunya, seorang peniaga kecil kecilan, ke majlis majlis para  peniaga tupperware. Dalam usia 13 tahun beliau  melanjutkan persekolahan di England  pada tahun 1977 dan seterusnya lulus di London School of Economics pada  tahun 1987.

Anthony Francis Fernandes, adalah seorang pengusaha sukses asal negeri jiran, yang namanya mulai banyak dikenal masyarakat, saat dia berhasil membawa maskapai penerbangan pemerintah Malaysia AirAsia yang diambang kebangkrutan, menjadi memasuki masa jaya.

Sebelum melambungkan nama AirAsia, Tony Fernandez bekerja di Warner Music, dan sempat mencapai prestasi sebagai Manager Director termuda di perusahaan tersebut pada umurnya yang masih 27 tahun. Awal mula dia memutuskan untuk beralih dari bekerja di bidang musik untuk kemudian menjadi seorang pengusaha di bidang maskapai penerbangan adalah berawal dari tayangan iklan EasyJet di bar dan ketertarikannya kepada pesawat. Keputusannya untuk hengkang dari Warner Music didasari fakta yang kurang mengenakkan dari industri music. Pembajakan!

AirAsia yang pada tahun pertama beraksi dibawah komando Tony Fernandez (pada 2002) hanya mengangkut penumpang sejumlah 250.000 dan 200 staf, hingga pada tahun 2012 AirAsia tercatat memiliki 103 armada pesawat dan 10.000 staf serta memiliki target 32juta penumpang kedepannya. Singkat cerita, Tony berhasil "menyentuh" AirAsia yang semula adalah perusahaan penerbangan yang dililit utang banyak menjadi perusahaan yang menguntungkan.

Selain tercatat sebagai pemilik AirAsia, Tony Fernandez tercatat pula sebagai presiden klub sepak bola liga Inggris, Queens Park Rangers (QPR). Pada 18 Agustus 2011 Tony resmi menjadi pemegang mayoritas saham QPR setelah membeli 66% saham klub tersebut dariBernie Ecclestone. Selain sepak bola, Tony juga merambah bisnis berdasarkan hobinya yang lain yaitu pada bidang olahraga balapan mobil F1. Tony tercatat sebagai ketua Caterham Formula One Team yang turun ke arena balap dengan nama Lotus Racing (2010) atau Team Lotus (2011).

Yang menarik dari kisah hidup Tony Fernandes adalah dia tidak pernah mengenal kata “TIDAK”. Tapi “Harus BISA!” Apa pun pekerjaan dan tanggung jawab yang diserahkan kepadanya, Tony percaya pasti bisa melakukannya, asalkan yakin dan mau menjalankan.

Dalam acara Networkin Asean Forum 2103 yang digelar di Singapura Jumat (23/8/2013) memang banyak pembicara, namun yang cukup menarik perhatian adalah Dato' Anthony Francis Fernandes yang ngetop dengan Tony Fernandes, pendiri dan CEO AirAsia Group. Selain penampilannya yang santai, bicaranya juga ceplas ceplos dan sering mengundang tawa peserta seminar.

Ketika para eksekutif lain mengenakan jas lengkap yang keren dan dasi, Tony justru membiarkan kancing kemejanya terbuka. Begitu pun ketika berbincang dengan Bisnis, ia sering bercanda dan tertawa terbahak-bahak. Inilah hasil perbincangan itu dan sebagian disarikan dari seminar yang digelar oleh CARI (CIMB, Asean Risearch Institute) dan Asian Business Club:

Ketika mata dunia tertuju pada China dan India, Tony Fernandes justru melirik negara-negara Asean untuk mengembangkan bisnisnya. Dia percaya kawasan Asia Tenggara bisa menjadi kekuatan ekonomi baru dunia.

Tony menilai jumlah penduduk Asean yang mencapai 600 juta jiwa adalah pasar yang sangat potensial bagi AirAsia, maskapai miliknya. Bagi Tony, negara-negara di kawasan Asia Tenggara memiliki beragam daya tarik pariwisata yang tentunya merupakan nilai jual dari bisnis maskapai.

AirAsia memulai operasionalnya di Kuala Lumpur, Malaysia, dan berangkat dari visi menyatukan Asean maka maskapai berbiaya hemat (low cost carrier/LCC). Maskapai ini meluncurkan penerbangan ke kota-kota di seluruh Asean.

Tony berpendapat konektivitas intra Asean perlu dibangun guna menggairahkan ekonomi maupun pariwisata di kawasan ini. Dari sini, AirAsia kemudian terus berekspansi dengan membuka rute penerbangan yang sebelumnya tidak pernah dioperasikan oleh kompetitor.

AirAsia merupakan maskapai pertama yang melayani penerbangan dari Kuala Lumpur ke Bandung, Indonesia. Awalnya, banyak yang pesimistis dengan strategi AirAsia ini, namun Tony mampu mematahkan keraguan banyak orang. Alih-alih menutup rute, AirAsia justru menambah frekuensi penerbangan Bandung – Kuala Lumpur dari sekali sehari menjadi empat kali. Tidak berhenti di situ, AirAsia kemudian menghubungkan Bandung dengan Singapura.

AirAsia kini merupakan satu-satunya maskapai yang menghubungkan seluruh Ibu Kota di Asia Tenggara melalui Kuala Lumpur.

MIMPI BESAR

Setelah berhasil menghubungan Asean melalui AirAsia, Tony kini memiliki visi yang lebih besar yakni menjadikan Asean sebagai satu kesatuan.

Mimpi besar ini tentu tidak luput dari berbagai tantangan, antara lain infrastruktur yang kurang memadai, terbatasnya sumber daya manusia, dan juga kebijakan yang beragam dari masing-masing pemerintah negara-negara di Asean. Harus diakui, sejumlah tantangan ini menjadikan operasional maskapai menjadi tidak efisien.

Pria kelahiran 30 April 1964 di Kuala Lumpur, ini menilai negara di Asia Tenggara sebagai pasar yang paling potensial adalah Indonesia, mengingat hampir setengah dari populasi di kawasan ini berasal dari Indonesia.

Pasar penerbangan di Indonesia pun terus tumbuh secara signifikan, dimana saat ini 53% dari pasar penerbangan negara itu dilayani oleh maskapai
low-cost.

Jebolan London School of Economics, Universitas London, ini berpendapat bahwa pertumbuhan ini tidak didukung dengan pengembangan bandara dan peningkatan kualitas infrastruktur. Padatnya lalu lintas di bandara, khususnya di kota-kota besar, menjadi tantangan terbesar saat ini.

Faktanya, keterbatasan infrastruktur ini pada akhirnya menghambat laju pertumbuhan industri penerbangan dan juga ekonomi nasional.

Untuk itu, dibukanya pintu bagi perusahaan swasta untuk membangun bandara sangat diperlukan di samping juga menjadikan bandara yang sudah ada sebagai bandara alternatif.

MENCONTOH THAILAND

Indonesia bisa mencontoh Thailand, di mana Bangkok memiliki dua bandara. Malaysia juga akan mengoperasikan KLIA 2 selain KLIA 1. Sebetulnya, Jakarta memiliki Bandara Halim Perdana Kusuma yang juga bisa dikembangkan sebagai pendamping Bandara Soekarno-Hatta. Melihat tren yang ada saat ini, di mana maskapai low-cost terus berkembang, ada baiknya kota-kota besar di Indonesia memiliki bandara khusus untuk LCC seperti halnya Singapura dan Kuala Lumpur. Terminal LCC tidak memerlukan fasilitas seperti terminal pada umumnya, seperti misalnya garbarata dan travelator.

Hal ini membuat biaya operasional terminal lebih kecil, sehingga maskapai juga dapat menghemat tarif sewa terminal dan jasa bandara udara lainnya. Dampaknya, maskapai LCC pun bisa menyediakan tarif yang lebih hemat dan penumpang membayar lebih sedikit untuk pajak bandara.

Tantangan lainnya bagi AirAsia yaitu terbatasnya sumber daya manusia (SDM) untuk industri penerbangan. Menurut Tony, salah satu cara mengatasi terbatasnya SDM adalah dengan menyeragamkan lisensi pilot, teknisi dan awak kabin di Asean (common licensing) sehingga warga negara Asean bebas berkarya di negara Asean manapun. Kebutuhan akan SDM harusnya ditangani berdasarkan kepentingan regional dan bukan lagi nasional.

Lebih jauh ke depan, Asean sebaiknya membentuk badan regulator sendiri untuk menangani masalah-masalah teknis. Regulator tersebut bisa berperan untuk membuat satu standar pada sistem Air Traffic Management, keamanan, keselamatan dan hal-hal teknis lainnya yang memenuhi standar ICAO. Sebagai langkah awal, standar tersebut tidak harus seragam tapi cukup untuk melaksanakan kerja sama antarnegara Asean.

Jika ini bisa dicapai, niscaya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang tenggatnya pada 31 Desember 2015, bisa berjalan mulusi. Paling tidak dari sudut pandangan industri penerbangan.

Sumber :
http://id.wikipedia.org
http://id.jobsdb.com
http://dahalmi.wordpress.com

http://baby-jihan.blogspot.com
http://entrepreneur.bisnis.com

No comments :

Post a Comment